FAJARONLINE.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 11 perempuan warga negara Indonesia (WNI) diduga menjadi korban tindak penyelundupan manusia ke China dengan modus pernikahan melalui perantara.
Di China selama 5 bulan, mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi. Suami memukuli sampai kepala dibacok. Mereka diperlakukan seperti hewan.
Kisah LL diawali kunjungan seorang perempuan tidak dikenal ke rumah orangtuanya di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Januari 2018 menjelang tengah malam. Perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Vivi itu datang bersama seorang pria warga negara China.
Kunjungan tersebut hanya berlangsung sekira 30 menit. Tapi dalam pertemuan singkat itu terjadi perjodohan antara LL dengan pria asing tersebut.
LL diiming-imingi uang bulanan sebesar Rp3 juta, pulang kampung setiap tiga bulan sekali, dan diperbolehkan membawa keluarga ke China. Itu belum termasuk uang mahar senilai Rp5 juta.
Uang tersebut diserahkan pria China tersebut kepada IS, ibu LL. Belakangan, Polda Jawa Barat menetapkan Vivi dan pria tersebut sebagai tersangka pelaku perdagangan orang dengan modus perjodohan.
Selang beberapa hari setelah pertemuan di rumah keluarganya, LL dibawa ke sebuah apartemen di Jakarta. Di sana, dia berkumpul bersama beberapa perempuan lain yang juga akan diperistri sejumlah pria di China.
Pada 16 Januari 2018, LL berangkat ke China bersama dua perempuan lain. Setelah menikah, dia tinggal bersama suaminya di Desa Weijahe, Kota Taihu Anging, Provinsi Anhui, China.
Baca Juga: Bamsoet: Ini Sudah Kurang Ajar dan Biadab
Awalnya semua berjalan sesuai janji. Bahkan, LL mengaku sempat mengirim uang ke orangtuanya sebesar Rp10 juta. Namun, itu semua tak berlangsung lama.
Alih-alih pulang kampung secara rutin seperti yang dijanjikan, LL mengklaim dirinya disekap, disiksa, diberi makan yang tidak layak, dan dilecehkan secara seksual oleh suaminya.
Dikarenakan tidak tahan, LL kabur dengan meloncat dari lantai 2 rumah suaminya, hingga kakinya patah. Dengan kondisi itu, LL menelusuri jalan sejauh 2 kilometer menuju lokasi temannya, M, dan seorang pria China dari sebuah agensi.
Ibarat lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya, LL mengaku harus kembali terjerat masalah. Bantuan yang diberikan pria China itu ternyata tidak gratis. Perempuan 27 tahun tersebut harus membayar Rp20 juta.
Akibat tidak punya uang, LL membayarnya dengan bekerja. Ia mengklaim seringkali diancam dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial jika tidak bisa membayar.
Kisah lainnya datang dari Marisa (atas permintaannya, namanya disamarkan). Perempuan asal Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ini juga dinikahkan dengan seorang pria asal China.
Meski tidak mengalami kekerasan fisik dan seksual, Marisa mengaku hidup bagai dalam penjara di rumah suaminya di Henan, China. Dia dilarang keluar rumah dan diawasi dengan ketat.
Marisa keluar rumah hanya untuk bekerja menemani suaminya mencangkul tanah. Selama hampir enam bulan tinggal di sana, Marisa merasa tidak diperlakukan layaknya seorang istri dan dicekoki obat setiap hari.
Marisa merasa ia hanya akan dijadikan mesin pencetak anak. "Mungkin aku ingin dijadikan mesin pencetak anak, makanya aku selalu dikasih terus minum obat," ujar Marisa di China melalui sambungan telepon, Selasa 18 September 2018.
Marisa mengaku tergiur dengan sejumlah materi yang dijanjikan saat menerima tawaran perjodohan dengan pria China. Kini, ia sedih dan kecewa karena kenyataan yang ada jauh dari bayangannya.
"Aku enggak percaya sama orang sini. Dia janjinya akan mulangin aku bulan kemarin, tapi buktinya mana? Aku takutnya setelah punya anak, dia enggak akan ngizinin pulang, yang ada nanti aku disuruh punya anak. Aku pengin pulang, enggak mau di sini," ujarnya sambil terisak.
Satu dari 11 perempuan Indonesia yang mengaku diperdagangkan ke Cina dengan modus pernikahan dirawat di sebuah klinik di Cina setelah mengalami penyiksaan.
Marisa dan LL adalah dua dari 11 orang yang mengaku menjadi korban perdagangan orang dengan modus perjodohan di China.
Sejatinya para perempuan berjumlah 12 orang, namun seorang perempuan berinisial Y berhasil kabur saat masih ditampung di sebuah apartemen di Jakarta, sebelum diberangkatkan ke China. Tiga dari 12 perempuan itu masih di bawah umur.
Direktur Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Umar Surya Fana mengatakan para tersangka pelaku sengaja melakukan "growing process".
"Trafficker meninggalkan sejumlah uang dalam konteks utang atau dalam konteks janji awal. 'Ini 10 juta dulu ya, nanti sisanya dikasih tiap bulan'. Ini bagian dari growing process," kata Umar.
Peristiwa yang dialami 11 perempuan tersebut juga bisa dikategorikan sebagai tindak perdagangan orang lantaran "ada pihak ketiga yang mendapatkan keuntungan ekonomi".
"Makanya dibilang trafficking, tindak pidana perdagangan orang, si pedagangnya yang kena. Vivi ini terima duit, dan dua orang lainnya terima duit. Itu ciri trafficking," paparnya.
Pengakuan LL dan Marissa mengenai iming-iming suami yang tidak ditepati, tambah Umar, termasuk unsur pidana trafficking.
"Kalau rangkaian kata-kata bohong, itu sudah masuk dalam koridor penipuan. Penipuan dalam tindak pidana perdagangan orang itu masuk dalam salah satu delik unsur pidananya."
Kombes Umar Surya Fana mengungkap bahwa sebelum menikahi 11 perempuan Indonesia, para pria dari Cina punya kriteria tertentu yang disampaikan kepada perantara di Indonesia.
"Konsumen di sana punya kriteria tertentu, misalnya rambutnya harus panjang, harus ini, segala macam. Tapi ketika datang tidak sesuai dengan kriteria dia. Karena dia sudah punya kontrak, dikawin dulu, habis dikawin dijual lagi ke laki-laki yang lain. Itu apa bukan perdagangan orang?" paparnya.
Sebelum berangkat ke Cina, orang tua 11 perempuan Indonesia tersebut telah menandatangani perjanjian. Hal ini mengindikasikan para perempuan dan keluarga mereka telah paham atas konsekuensinya.
Namun, Kombes Umar Surya Fana berkilah bahwa penandatanganan perjanjian itu adalah bagian dari modus operandi para tersangka.
"Itu yang tadi saya bilang growing process tadi, itulah bagian dari unsur pidana," tegasnya.
Berbicara soal prosedur pernikahan, Umar menyebut para suami ke-11 perempuan Indonesia tersebut menggunakan cara-cara yang tidak diatur oleh undang-undang formal.
"Mengajukan visa harus mendapat undangan dari pihak suami yang akan menikahi dia. Yang kedua, visanya berlaku tiga tahun karena memang visa nikah.
"Yang ketiga, pada saat sampai, di negara tujuan, dia musti dapat verifikasi, rekomendasi dan terdaftar dalam kedutaan kita. Yang keempat, pada saat menikah, dari kedutaan kita atau yang ditunjuk, itu harus hadir. Nah empat hal ini tidak terpenuhi," sebut Umar.
Ke-11 perempuan Indonesia tersebut kini berupaya dipulangkan pemerintah Indonesia. Namun, ini bukan hal gampang.
Irfan Arifian, kuasa hukum ke-11 perempuan, mengatakan saat kasus ini dilaporkan ke kepolisian setempat, mereka tidak bisa membantu lantaran pernikahan kliennya dan para suaminya telah tercatat secara resmi.
"KBRI (Kedutaan Besar RI) kita membuktikan bahwa ini ada pelanggaran visa, bahwa ini ada manipulasi data soal paspor, dan tidak ada catatan pengantar dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Indonesia. Mereka masuk ke Tiongkok ini liar, tidak terdaftar di KBRI. Tapi polisi setempat ini, mereka bilang hanya melihat ada buku nikah.
"Buku nikah itulah yang menurut polisi setempat, resmi. Jadi mereka tidak melihat prosesnya," tutur Irfan kepada wartawan di Bandung, Julia Alazka.
Laporan soal kekerasan dalam rumah tangga yang diklaim korban pun dianggap angin lalu. Irfan mengungkapkan, KBRI telah menunjukkan foto-foto luka yang dialami korban kepada kepolisian Cina, tapi dianggap tidak relevan.
"Mereka bilang itu masa lampau, tidak bisa difaktakan saat ini. Kalau terjadi kekerasan segera visum. Bagaimana mereka mau ke rumah sakit, ke polisi, sementara mereka benar-benar disekap di dalam rumah itu oleh keluarga suaminya. Kalau mereka mau kabur, paspornya ditahan, mereka juga ada CCTV banyak, sulit mereka bergeraknya," ungkap Irfan.
Irfan menambahkan, perdagangan orang menggunakan modus pernikahan paling sulit.
"Suami akan mempertahankan karena dia sudah keluar sejumlah uang pada agensi. Jadi tidak mudah dia lepaskan begitu saja," Irfan sambil menyebutkan pihak suami rata-rata merogoh kocek hingga Rp200 juta untuk membeli perempuan Indonesia melalui agensi.
Namun, Irfan mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Luar Negeri akan terus memperjuangkan kepulangan para perempuan. (**)

SETIAP ORANG PUNYA CERITA.
Langganan Anda Membantu Jurnalisme Berkualitas
Author : Rasid